Kamis, 13 Agustus 2009

Pneumonia pada Balita


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Dalam GBHN, dinyatakan bahwa pola dasar pembangunan Nasional pada hakekatnya adalah Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia. Jadi jelas bahwa ada hubungan yang erat antara usaha peningkatan kesehatan masyarakat dengan pembangunan. Karena, tanpa modal kesehatan niscaya akan gagal pula pembangunan kita.

Usaha peningkatan kesehatan masyarakat pada kenyataannya tidaklah mudah seperti membalikkan telapak tangan saja, karena masalah ini sangatlah kompleks. Kelompok masyarakat kita yang paling beresiko tinggi terkena penyakit yaitu, ibu hamil, ibu menyusui dan anak bawah lima tahun (Rasmaliah, 2004).

1

Lebih dari 90% anak di dunia lahir hidup di Negara berkembang setiap tahun. 35.000 dari mereka mati setiap hari, sebagian besar karena problem yang umum dan mudah dicegah. Kesehatan dan anak sakit ini adalah akibat dari dinamika komplek faktor-faktor lingkungan, sosial, pola asuh, politik,dan ekonomi. Tidak ada intervensi yang dapat memotong siklus morbiditas dan mortalitas yang membayangi mereka (Benrham, 2000).

Salah satu penyakit yang sering diderita terutama oleh anak-anak adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) yaitu meliputi infeksi akut saluran pernapasan bagian atas dan infeksi akut saluran pernapasan bagian bawah, baik di negara berkembang maupun di negara maju yang sudah mampu dan banyak dari mereka perlu masuk rumah sakit karena penyakitnya cukup gawat. Penyakit-penyakit saluran pernapasan pada masa bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa dewasa.

ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya. 40%-60% dari kunjungan di Puskesmas adalah oleh penyakit ISPA. Dari seluruh kematian yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20%-30%. Kematian yang terbesar umumnya adalah karena pneumonia dan pada bayi berumur kurang dari 2 bulan (Depkes RI, 2007).

Hingga saat ini angka mortalitas ISPA yang berat masih sangat tinggi. Kematian seringkali disebabkan karena penderita datang untuk berobat dalam keadaan berat dan sering disertai penyulit-penyulit dan kurang gizi. Data morbiditas penyakit pneumonia di Indonesia per tahun berkisar antara 10-20% dari populasi balita. Hal ini terbukti dari data hasil penelitian di lapangan, yaitu di Nusa Tenggara Barat mencatat ISPA sebagai penyakit yang paling banyak diderita masyarakat: 206.144 orang. Sementara, penderita Pneumonia mencapai 41.865 orang. Di Kecamatan Kediri Lombok Barat, NTB adalah 17,8% (Rasmaliah, 2004).

Begitu juga dengan di kecamatan Labu Api Kabupaten Lombok Barat, NTB angka morbiditas dan mortalitas penyakit Pneumonia pada BALITA masih sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan sebagian besar jumlah pengunjung Puskesmas Labu Api usia BALITA dengan kasus infeksi saluran pernafasan akut (Pneumonia).

Diperkirakan bahwa separuh dari penderita pneumonia didapat pada kelompok umur 0-6 bulan (Rasmaliah, 2004).

Tingginya angka mortalitas dan morbiditas penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Pneumonia) dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti nutrisi, pola asuh, lingkungan dan gaya hidup.

Pola asuh orang tua yang bisa menjadikan anak BALITA terkena ISPA (Pneumonia) seperti otoriter, permisif, dan penelantar. Sedangkan pola asuh yang baik bagi anak BALITA, yaitu pola asuh demokratis. Pola asuh demokratis merupakan suatu pola asuh yang memperioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka (Petranto, I, 2006).

Orang tua harus tahu bahwa Kerentanan anak usia bawah lima tahun terhadap penyakit memang mengkhawatirkan. Untuk itu orang tua harus benar-benar memperhatikan segala prilaku balita pada usia ini. Tingkah laku dan perubahan tubuh BALITA patut di waspadai. Berbagai kewaspadaan terhadap bahaya penyakit pada BALITA memang memungkinkan terdeteksi dininya permasalahan gawat pada anak.

Prilaku BALITA harus mulai dibimbing dengan persuasive sedini mungkin. Begitu BALITA sudah bisa diajak berkomunikasi, maka secepat mungkin berbagai kegiatan harian di rumah yang beresiko terserang penyakit harus diajarkan. Seperti diketahui, balita kebanyakan belum dapat membedakan antara tempat yang kotor dan rawan penyakit dengan tempat yang bersih. Kekurangwaspadaan orang tua dalam memberikan perawatan sehari-hari terhadap BALITA yang menyangkut kesehatan dapat berakibat fatal dan penyesalan apabila BALITA mengalami penyakit yang berbahaya oleh infeksi bakteri, virus maupun jamur(Triton, 2008)

Program pemberantasan ISPA secara khusus telah dimulai sejak tahun 1984, dengan tujuan berupaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian khususnya pada bayi dan anak balita yang disebabkan oleh ISPA, namun kelihatannya angka kesakitan dan kematian tersebut masih tetap tinggi sampai sekarang.

Melihat masalah Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Pneumonia) yang menyerang BALITA di Indonesia masih tinggi terutama di Dusun Telaga Waru Kecamatan Labu Api Lombok Barat peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua Dengan Tingkat Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Pneumonia) di RT. 1 Dusun Telaga Waru Kecamatan Labu Api Kabupaten Lombok Barat. Karena selama peneliti melaksanakan praktek klinik di Wilayah kerja Puskesmas Labu Api, peneliti menemukan kasus penyakit infeksi Saluran Pernafasan Akut (Pneumonia) masih sangat tinggi pada BALITA.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah disebutkan di atas maka peneliti ingin mencoba untuk mengemukakan rumusan masalah, yaitu apakah ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan tingkat kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Pneumonia) pada BALITA di RT. 1 Dusun Telaga Waru kecamatan Labu Api Kabupaten Lombok Barat?.

C.Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua dengan tingkat kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Pneumonia) pada BALITA di RT. 1 Dusun Telaga Waru Kecamatan Labu Api Kabupaten Lombok Barat.

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi Pola Asuh orang tua dengan tingkat kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Pneumonia)

b. Mengidentifikasi BALITA yang menderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Pneumonia).

c. Mengidentifikasi hubungan antara pola asuh orang tua dengan tingkat kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (pneumonia) pada BALITA di RT. 1 Dusun Telaga Waru Kecamatan Labu Api Kabupaten Lombok Barat.

D. Manfaat penelitian

1. Bagi orang tua klien

Meningkatkan kesadaran bagi orang tua tentang pentingnya pola asuh dalam merawat anak yang menderita penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut.

2. Bagi institusi pelayanan

Dapat menyusun program-program kerja dalam mengarahkan orang tua dalam merawat anaknya dengan pola asuh yang benar sehingga anaknya tidak terkena penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Pneumonia).

3. Bagi peneliti

Dapat meningkatkan pengetahuan peneliti berhubungan dengan pola asuh orang tua yang benar dan salah dalam merawat anak BALITA sehingga tidak terkena penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Pneumonia).

4. Bagi masyarakat

Dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi orang tua klien khususnya dan masyarakat pada umumnya dalam memberikan pola asuh yang benar sehingga anak tidak terkena penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Pneumonia).

E. Keaslian penelitian

Penelitian yang terkait dengan penelitian sebelumnya pernah dilakukan oleh Abu tahun 2006, dengan judul ”Perbedaan Pola Asuh Dengan Status Gizi Anak Balita Pada Ibu Bekerja Sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) dan Tidak Bekerja Sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Desa Kawo Kecamatan Pujut Lombok Tengah”, dengan hasil ada perbedaan yang signifikan pola asuh dengan status gizi anak balita pada ibu bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW) dan tidak bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW). Pada penelitian ini menggunakan desain penelitian yaitu comparative study dan dalam pengambilan sampelnya menggunakan random sampling, sehingga peneliti sekarang berminat meneliti dengan judul “Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Tingkat Kejadian ISPA pada BALITA di RT .1 Dusun Telaga Waru, Kecamatan Labu Api”. Dimana penelitian ini menggunakan desain penelitin yaitu survey analitik korelasi dengan pendekatan cross-sectional.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

1.Pengertian

ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut, istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan dan akut.

Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

10

Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory tract) (Depkes. RI, 2004).

Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Silalahi, L. 2004).

Dari definisi di atas peneliti menyimpulkan infeksi saluran pernafasan akut, yaitu masuknya mikroorganisme kedalam tubuh manusia sehingga menimbulkan gejala penyakit pada saluran pernafasan mulai dari mulut sampai alveoli yang berlangsung selama 14 hari.

2. Etiologi

Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebabnya antara lain dari genus Streptokokus, Stafilokokus, Pnemokokus, Hemofilus, Bordetella dan Korinebakterium. Virus penyebabnya antara lain golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus (Silalahi, L. 2004).

3. Klasifikasi Infeksi Saluran Pernafasan akut

Menurut Rasmaliah (2004) mengatakan Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai berikut:

a. Pneumonia berat: ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada kedalam (chest indrawing).

b. Pneumonia: ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat.

c. Bukan pneumonia: ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas cepat. Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolong bukan pneumonia.

Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat dibuat suatu klasifikasi penyakit ISPA. Klasifikasi ini dibedakan untuk golongan umur dibawah 2 bulan dan untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun.

Untuk golongan umur kurang 2 bulan ada 2 klasifikasi penyakit yaitu :

a. Pneumonia berat: diisolasi dari cacing tanah oleh Ruiz dan kuat dinding pada bagian bawah atau napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan yaitu 60 kali per menit atau lebih.

b. Bukan pneumonia: batuk pilek biasa (common cold), bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau napas cepat.

Untuk golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun ada 3 klasifikasi penyakit yaitu :

a. Pneumonia berat: bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian bawah kedalam pada waktu anak menarik napas (pada saat diperiksa anak harus dalam keadaan tenang tidak menangis atau meronta).

b. Pneumonia: bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah untuk usia 2 -12 bulan adalah 50 kali per menit atau lebih dan untuk usia 1 -4 tahun adalah 40 kali per menit atau lebih.

c. Bukan pneumonia: batuk pilek biasa, bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas cepat (Depkes, 1993).

4. Tanda dan Gejala

Pada umumnya suatu penyakit saluran pernapasan dimulai dengan keluhan-keluhan dan gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernapasan dan mungkin meninggal. Bila sudah dalam kegagalan pernapasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan pernapasan.

Tanda-tanda bahaya dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan tanda-tanda laboratoris.

a. Tanda-tanda klinis

1) Pada sistem respiratorik adalah: tachypnea, napas tak teratur (apnea), retraksi dinding thorak, napas cuping hidung, cyanosis, suara napas lemah atau hilang, grunting expiratoir dan wheezing.

2) Pada sistem cardial adalah: tachycardia, bradycardiam, hypertensi, hypotensi dan cardiac arrest.

3) Pada sistem cerebral adalah : gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung, papil bendung, kejang dan coma.

4) Pada hal umum adalah : letih dan berkeringat banyak.

b. Tanda-tanda laboratories

1) Hypoxemia,

2) Hypercapnia dan

3) Acydosis (metabolik dan atau respiratorik).

Tanda-tanda bahaya pada anak golongan umur 2 bulan sampai 5 tahun adalah: tidak bisa minum, kejang, kesadaran menurun, stridor dan gizi buruk, sedangkan tanda bahaya pada anak golongan umur kurang dari 2 bulan adalah: kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang dari setengah volume yang biasa diminumnya), kejang, kesadaran menurun, stridor, Wheezing, demam dan dingin (Rasmaliah, 2004).

5. Komplikasi

Komplikasi yang bisa terjadi dari penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Pneumonia) diantaranya abses kulit, abses jaringan lunak, otitis media, sinusitis, meningitis purulenta, perikarditis dan epiglottis kadang ditemukan pada infeksi H. Influenza tipe B (Mansjoer, A. 2007).

6. Pengobatan

Menurut Mansjoer, A. (2007) Penatalaksanaan pada Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Pneumonia), yaitu:

a. Oksigen 1-2 l/mnt

b. IVFD (intra vena fluid drip) dekstrose 10% : NaCl 0,9% = 3:1 + KCl 10 mEq/500 ml cairan. Jumlah cairan sesuai dengan berat badan dan status dehidrasi.

c. Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat dimulai makanan enteral bertahap melalui selang nasogastrik dengan feeding drip.

d. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal dan beta agonis untuk memperbaiki transpor mukosilier.

e. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit

f. Antibiotik sesuai hasil biakan

Untuk kasus pneumonia comiunity base:

1) Ampicillin 100 mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian

2) chloramphenikol 75 mg/kgBB/hari dalam 4 kali pemberian.

Untuk kasus pneumonia hospital base:

1) cefotaxim 100 mg/kgB/hari dalam 2 kali pemberian

2) Amikasin 10-15 mg/kgBB/hari 2 kali pemberian.

7. Pencegahan dan Pemberantasan

a. Pencegahan

Pencegahan dapat dilakukan dengan :

1) Menjaga keadaan gizi agar tetap baik.

2) Imunisasi.

3) Menjaga kebersihan prorangan dan lingkungan.

4) Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.

b. Pemberantasan

Pemberantasan yang dilakukan adalah :

1) Penyuluhan kesehatan yang terutama di tujukan pada para ibu.

2) Pengelolaan kasus yang disempurnakan.

3) Imunisasi.

c. Pelaksana pemberantasan

Tugas pemberantasan penyakit ISPA (pneumonia) merupakan tanggung jawab bersama. Kepala Puskesmas bertanggung jawab bagi keberhasilan pemberantasan di wilayah kerjanya.

Sebagian besar kematiaan akibat penyakit pneumonia terjadi sebelum penderita mendapat pengobatan petugas Puskesmas. Karena itu peran serta aktif masyarakat melalui aktifitas kader akan sangat membantu menemukan kasus-kasus pneumonia

yang perlu mendapat pengobatan antibiotik cotrimoxacol) dan kasus-kasus pneumonia berat yang perlu segera dirujuk ke rumah sakit .

Dokter puskesmas mempunyai tugas sebagai berikut:

1) Membuat rencana aktifitas pemberantasan ISPA sesuai dengan dana atau sarana dan tenaga yang tersedia.

2) Melakukan supervisi dan memberikan bimbingan penatalaksanaan standar kasus-kasus ISPA kepada perawat atau paramedis.

3) Melakukan pemeriksaan pengobatan kasus-kasus pneumonia berat/penyakit dengan tanda-tanda bahaya yang dirujuk oleh perawat/paramedis dan merujuknya ke rumah sakit bila dianggap perlu.

4) Memberikan pengobatan kasus pneumonia berat yang tidak bisa dirujuk ke rumah sakit.

5) Bersama dengan staf puskesmas memberikan penyuluhan kepada ibu-ibu yang mempunyai anak balita. perihal pengenalan tanda-tanda penyakit pneumonia serta tindakan penunjang di rumah,

6) Melatih semua petugas kesehatan di wilayah puskesmas yang di beri wewenang mengobati penderita penyakit ISPA,

7) Melatih kader untuk bisa, mengenal kasus pneumonia serta dapat memberikan penyuluhan terhadap ibu-ibu tentang penyaki ISPA,

8) Memantau aktifitas pemberantasan dan melakukan evaluasi keberhasilan pemberantasan penyakit ISPA. mendeteksi hambatan yang ada serta menanggulanginya termasuk aktifitas pencatatan dan pelaporan serta pencapaian target.

d. Paramedis Puskesmas Puskesmas pembantu

1) Melakukan penatalaksanaan standar kasus-kasus ISPA sesuai petunjuk yang ada.

2) Melakukan konsultasi kepada dokter Puskesmas untuk kasus-kasus ISPA tertentu seperti pneumonia berat, penderita dengan weezhing dan stridor.

3) Bersama dokter atau dibawah, petunjuk dokter melatih kader.

4) Memberi penyuluhan terutama kepada ibu-ibu.

5) Melakukan tugas-tugas lain yang diberikan oleh pimpinan Puskesmas sehubungan dengan pelaksanaan program pemberantasan penyakit ISPA.

e. Kader kesehatan

1) Dilatih untuk bisa membedakan kasus pneumonia (pneumonia berat dan pneumonia tidak berat) dari kasus-kasus bukan pneumonia.

2) Memberikan penjelasan dan komunikasi perihal penyakit batuk pilek biasa (bukan pneumonia) serta penyakit pneumonia kepada ibu-ibu serta perihal tindakan yang perlu dilakukan oleh ibu yang anaknya menderita penyakit.

3) Memberikan pengobatan sederhana untuk kasus-kasus batuk pilek (bukan pneumonia) dengan tablet parasetamol dan obat batuk tradisional obat batuk putih.

4) Merujuk kasus pneumonia berat ke Puskesmas/Rumah Sakit terdekat.

5) Atas pertimbangan dokter Puskesmas maka bagi kader-kader di daerah-daerah yang terpencil (atau bila cakupan layanan Puskesmas tidak menjangkau daerah tersebut) dapat diberi wewenang mengobati kasus-kasus pneumonia (tidak berat) dengan antibiotik kontrimoksasol.

6) Mencatat kasus yang ditolong dan dirujuk.

B. Pola Asuh Orang Tua Terhadap Anak

1. Pengertian Pola Asuh

Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relative konsisten dari waktu ke waktu (Petranto Ira , 2006).

pola merupakan suatu system cara kerja. Sedangkan Asuh, yaitu menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil (Lukman, A. 2001).

Asuh adalah mamenuhi kebutuhan pemeliharaan dan perawataan anak agar kesehatan selalu terpelihara, sehingga diharapkan menjadikan mereka anak-anak yang sehat baik fisik, mental, social,dan spiritual (Effendi, N. 1998).

Dari definisi diatas peneliti menyimpulkan pola asuh orang tua merupakan suatu cara perilaku orang tua yang diterapkan kepada anak dalam mengasuh (merawat dan mendidik) anaknya dan bersifat relative konsisten dari waktu ke waktu.

2. Pengetahuan, sikap dan tindakan orang tua dalam pengasuhan anak

Pada dasarnya pengetahuan, sikap dan tindakan atau action merupakan bentuk yang dapat diamati dari perilaku seseorang. Perilaku lain yang diamati dapat juga potensial yaitu bentuk motivasi dan persepsi. Perilaku individu adalah segala sesuatu yang menjadi pengetahuan (knowledge dan attitude)dan bisa pula diikuti dengan tindakannya (Leagen dan Slamet, 1979).

3. Macam-macam Pola asuh

Menurut Baumrind (1967) terdapat 4 macam pola asuh orang tua :

a. Pola asuh Demokratis

b. Pola asuh Otoriter

c. Pola asuh Permisif

d. Pola asuh Penelantar.

Pola asuh Demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.

Pola asuh otoriter sebaliknya cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Misalnya, kalau tidak mau makan, maka tidak akan diajak bicara. Orang tua tipe ini juga cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi, dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya.

Pola asuh Permisif atau pemanja biasanya meberikan pengawasan yang sangat longggar. Memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.

Pola asuh tipe yang terakhir adalah tipe Penelantar. Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada anak-anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga kadangkala biayapun dihemat-hemat untuk anak mereka. Termasuk dalam tipe ini adalah perilaku penelantar secara fisik dan psikis pada ibu yang depresi. Ibu yang depresi pada umumnya tidak mampu memberikan perhatian fisik maupun psikis pada anak-anaknya.

Dari penjelasan tentang pola asuh-pola asuh orang tua tersebut di atas, jelaslah bahwa tipe yang paling baik adalah tipe pola asuh Demokratis. Sedangkan pola asuh otoriter, permisif dan penelantar hanya akan memberikan dampak buruk pada anak (Petranto, I. 2006).

4. Syarat Pola Asuh Efektif

Syarat paling utama pola asuh yang efektif adalah landasan cinta dan kasih sayang. Berikut hal-hal yang bisa dilakukan orang tua demi menuju pola asuh efektif.

a. Pola asuh harus dinamis

Karena pola asuh harus sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan dan perkembangan anak. Sebagai contoh, penerapan pola asuh untuk anak batita tentu berbeda dari pola asuh untuk anak usia sekolah. Pasalnya, kemampuan berpikir batita kan masih sederhana, jadi pola asuh harus disertai komunikasi yang tidak bertele-tele dengan bahasa yang mudah dimengerti.

b. Pola asuh harus Sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anak

Ini perlu dilakukan karena setiap anak memiliki minat dan bakat yang berbeda. Saat usia satu tahun, potensi anak sudah mulai dapat terlihat. Umpamanya, kala si kecil mendengarkan alunan musik, dia kok tampak lebih tertarik ketimbang anak seusianya. Bisa jadi, ia memang memiliki potensi kecerdasan musikal. Nah, kalau orang tua sudah memiliki gambaran potensi anak, maka ia perlu diarahkan dan difasilitasi.

c. Ayah-ibu mesti kompak

Ayah dan ibu sebaiknya menerapkan pola asuh yang sama. Dalam hal ini, kedua orang tua sebaiknya "berkompromi" dalam menetapkan nilai-nilai yang boleh dan tidak. Jangan sampai orang tua saling bersebrangan karena hanya akan membuat anak bingung.

d. Pola asuh mesti disertai perilaku positif dari orang tua

Penerapan pola asuh juga membutuhkan sikap-sikap positif dari orang tua sehingga bisa dijadikan contoh/panutan bagi anaknya. Tanamkan nilai-nilai kebaikan dengan disertai penjelasan yang mudah dipahami. Kelak diharapkan anak bisa menjadi manusia yang memiliki aturan dan norma yang baik, berbakti dan menjadi panutan bagi temannya dan orang lain.

e. Komunikasi Efektif

Bisa dikatakan komunikasi efektif merupakan sub-bagian dari pola asuh efektif. Syarat untuk berkomunikasi efektif sederhana, yaitu luangkan waktu untuk berbincang-bincang dengan anak. Jadilah pendengar yang baik dan jangan meremehkan pendapat anak.

f. Disiplin

Penerapan disiplin juga menjadi bagian pola asuh. Mulailah dari hal-hal kecil dan sederhana. Misalnya, membereskan kamar sebelum berangkat sekolah atau menyimpan sesuatu pada tempatnya.

g. Orang tua Konsisten

Orang tua juga bisa menerapkan konsistensi sikap, misalnya anak tak boleh minum air dingin kalau sedang terserang batuk. Tapi kalau anak dalam keadaan sehat ya boleh-boleh saja.

(Hilmansyah, H. 2006).

5. Kebutuhan asuh yang di berikan orang tua kepada anaknya

Kebutuhan dasar ini merupakan kebutuhan fisik yang harus dipenuhi dalam proses pertumbuhan dan perkembangan (Hidayat, A. 2005). Kebutuhan ini dapat meliputi:

a. Nutrisi yang mencukupi dan seimbang

Pemberian nutrisi secara mencukupi pada anak harus sudah mulai sejak dalam kandungan, yaitu dengan pemberian nutrisi yang cukup memadai pada ibu hamil. Setelah lahir, harus siupayakan pemberian ASI secara ekseklusif, yaitu pemberian ASI saja sampai anak berumur 4-6 bulan. Sejak berumur enam bulan, sudah waktunya anak di berikan makanan tambahan atau makanan pendamping ASI. Pemberian makanan tambahan penting untuk melatih kebiasaan makan yang baik dan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang mulai meningkat pada masa bayi dan pra sekolah, karena pada masa ini pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi adalah sangat pesat, terutama pertumbuhan otak.

b. Perawatan kesehatan dasar

Untuk mencapai keadaan kesehatan anak yang optimal diperlukan beberapa upaya, misalnya, imunisasi, kontrol ke puskesmas/posyandu secara berkala, diperiksakan segera bila sakit. Dengan upaya tersebut, keadaan kesehatan anak dapat di pantau secara dini, sehingga bila ada kelainan maka anak segera mendapatkan penanganan yang benar.

c. Pakaian

Anak perlu mendapatkan pakaian yang bersih dan nyaman dipakai. Karena aktivitas anak lebih banyak, hendaknya pakaian terbuat dari bahaan yang mudah menyerap keringat.

d. Perumahan

Dengan memberkan tempat tinggal yang layak maka hal tersebut akam membantu anak untuk bertumbuh dan berkembang seceara optimal. Tempat tinggal yang layak tidak berarti rumah ang berukuran besar, tetapi bagaimana upaya kita untuk mengatur rumah menjadi sehat, cukup ventilasi serta terjaga kebersihan dan kerapiannya, tanpa memperdulikan ukurannya.

e. Higiene diri dan lingkungan

Kebersihan badan dan lingkungan yang terjaga berarti sudah mengurangi resiko tertularnya infeksi. Selain itu, lingkungan yang bersih akan memberikan kesempatan kepada anajuntuk dapat melakukan aktivitas bermain secara aman.

f. Kesegaran jasmani (olahraga dan rekreasi)

Aktivitas olahraga dan rekreasi digunakan untuk melatih kekuataan otot-otottubuh dan membuang sisa metabolisme, selain itu juga membantu meningkatkan motorik anak, dan aspek perkembangan lainnya. Aktivitas olahraga dan rekreasi bagi anak balita merupakan aktivitas bermain yang menyenangkan (Nursalam,dkk.2005).

”Adalah hak anak mendapatkan pengasuhan yang sebaik-baiknya dari orang tua dan ini merupakan kewajiban dari para oranga tua” (soetjiningsih, 1995).

6. Mengidentifikasi tugas orang tua dalam mengasuh anak dalam menangani penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (pneumonia)

a. Mengenal tentang penyakit infeksi saluran pernafasan akut (pneumonia)

b. Mampu memberikan pertolongan pertama pada BALITA yang menderita penyakit infeksi saluran pernafasan akut (pneumonia)

c. Mampu mengambil keputusan yang tepat dalam membantu BALITA yang menderita penyakit infeksi saluran pernafasan akut (pneumonia).

d. Menciptakan suasana yang nyaman agar anak terhindar dari penyakit infeksi saluran pernafasan akut (pneumonia).

e. Memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada

(Mubarak, I,H. 2006).

C. Faktor-Faktor Internal Dan Eksternal yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua Terhadap penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Pneumonia) Pada BALITA

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua dalam mengasuh anak. Ada 5 faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua, yaitu :

1. Usia orang tua

Usia merupakan umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun (Lukman, A. 2001). Tujuan undang-undang perkawinan salah satunya adalah memungkinkan pasangan untuk siap secara fisik maupun psikososial dalam membentuk rumah tangga dan menjadi orang tua. Usia antara 17 tahun dan 19 tahun untuk laki-laki mempunyai alasan yang kuat dalam kaitannya dengan kesiapan menjadi orang tua. Walaupun demikian, tentang usia tertentu adalah baik untuk menjalankan peran pengasuhan apa bila terlalu muda atau terlalu tua, mungkin tidak dapat menjalankan peran tersebut secara optimal karena diperlukan kekuatan fisik dan psikososial.

2. Pendidikan

Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (Lukman, A. 2001).

Sesuai dengan definisi pendidikan diatas, semakin tinggi pendidikan seseorang maka perilaku dan tingkah laku seseorang akan lebih baik dan terarah. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi orang tua akan bisa mengasuh anaknya dengan pola asuh yang baik.

3. Pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak

Hasil riset menunjukkan bahwa orang yang telah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam merawat anak akan lebih siap menjalankan peran pengasuhan dan lebih relaks. Selain itu, mereka akan lebih mampu mengamati tanda-tanda anak yang terserang penyakit serta mampu memantau pertumbuhan dan perkembangan anak.

4. Stres orang tua

Stres yang dialami ayah dan ibu atau keduanya akan mempengaruhi pola asuh orang tua dalam merawat anak, terutama dalam kaitannya dengan koping yang dimiliki dalam menghadapi permasalahan anak. Walaupun demikian, kondisi anak juga dapat menyebabkan stres pada orang tua.

5. Hubungan suami istri

Hubungan yang kurang harmonis antara suami dan istri akan berdampak dalam kemampuan mereka dalam menjalankan perannya sebagai orang tua dan merawat serta mengasuh anak dengan penuh rasa kebahagiaan karena satu sama lain saling memberi dukungan dan menghadapi segala masalah dengan kopig yang positif.

(Supartini, Y. 2004).

D. Identifikasi Pola Asuh Orang Tua dalam Penatalaksanaan Secara Sederhana pada Anak BALITA Yang Menderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Penumonia)

1. Melakukan kompres untuk mengurangi demam

2. Mengatasi batuk dengan memberi obat batuk yang aman seperti jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan kecap atau madu ½ sendok teh.

3. Memberikan makanan yang cukup gizi, sedikit tetapi berulang-ulang

4. Meneruskan pemberian ASI pada bayi.

5. Pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih banyak dari biasanya.

6. Tidak memakaikan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam.

7. Membersihkan hidung untuk mempercepat kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah.

8. Mengusahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak berasap.

9. Membawa anak ke tempat pelayanan kesehatan jika keadaan tidak membaik

(Rasmaliah, 2004).


E. Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan :

: Area yang diteliti




: Area yang tidak diteliti

Gambar 2.1. Kerangka konsep penelitian dari pola asuh orang tua terhadap penyakit infeksi salruan pernafasan akut (Pneumonia) pada BALITA

F. Hipotesis

Hipotesis merupakan sesuatu yang dianggap benar untuk alasan atau pengutaraan pendapat, meskipun kebenarannya masih harus dibuktikan (Lukman, A. 2001).

Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah, maka penulis dapat mengajukan suatu hipotesis sebagai berikut:

Ho: Tidak ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan tingkat kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Pneumonia) pada BALITA.

Ha: Ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan tingkat kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Pneumonia) pada BALITA.


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Subjek Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RT. 1 Dusun Telaga Waru Kecamatan Labu Api, yang menjadi subyek penelitian adalah orang tua yang memiliki dan tidak memiliki BALITA di RT. 1 Dusun Telaga Waru Kecamatan Labu Api.

B. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiono, 2005).

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah semua orang tua yang memiliki maupun tidak memiliki BALITA di RT.1 Dusun Telaga Waru Kecamatan Labu Api.



37


2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki dari populasi tersebut (sugiono, 2005).

Dalam penelitian ini yang menjadi sampel adalah orang tua yang sedang memiliki BALITA dan bersedia menjadi responden di RT. 1 Dusun Telaga Waru Kecamatan Labu Api. Dalam penelitian ini, peneliti menentukan kriteria dalam menentukan sampel:

a. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau yang akan diteliti (Nursalam, 2003).

1) Orang tua yang memiliki BALITA.

2) Orang tua yang bisa membaca dan menulis

3) Bersedia menjadi responden

b. Kriteria ekslusi

Kriteria ekslusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang memenuhi kriteria inkulsi dari suatu studi karena pelbagai sebab (Nursalam, 2003).

1) Orang tua yang tidak sedang memiliki BALITA.

2) Orang tua yang tidak bisa membaca dan menulis

3) Orang tua yang tidak bersedia menjadi responden.

3. Teknik sampling

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan purposive sampling, yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi yang sesuai dengan yang dikehendaki (tujuan atau masalah dalam penelitian), sehingga sampel tersebut mewakili karakteristik populasi yang pernah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2003).

Salah satu formula yang sering digunakan untuk menentukan sampel dari Isaac dan micheal (1983:192). Menurut Isaac dan micheal menghitung besarnya populasi yang terpilih sebagai sampel (somantri,A. 2006). Untuk menghitung ukuran sampel, menggunakan rumus yang di dasarkan pada presisi estimasi statistik (tingkat ketelitian) 5% sebagai berikut:

Keterangan:

S : ukuran sample yang diperlukan

N : jumlah anggota populasi

P : proporsi populasi = 0,50 (maksimal sampel yang mungkin)

d : tingkat akurasi = 0,05

l2 : tabel nilai chi-square sesuai tingkat kepercayaan 0,95 = 1,841.

C. Rancangan Penelitian atau Desain Penelitian

Desain penelitian adalah suatu rancangan yang bisa digunakan oleh peneliti sebagai petunjuk dalam merencanakan dan melaksanakan penelitian untuk mencapai tujuan atau menjawab pertanyaan penelitian (Nursalam, 2003).

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian survey analitik korelasi dengan pendekatan cross-sectional, yaitu jenis penelitian yang menekankan pada waktu pengukuran atau observasi data independent variable dan dependent variable hanya satu kali, pada satu saat (Nursalam, 2003).

D. Teknik Pengumpulan dan Pengelolaan Data

1. Instrumen penelitian

Instumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dan pedoman observasi. Alasan peneliti menggunakan instrumen ini sebagai alat ukur karena sederhana, mudah dan dapat menyelesaikan permasalahan. Selain itu, adanya pertimbangan dana dan waktu pelaksanaan yang terbatas.

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Dokumentasi

Dokumen adalah suatu catatan yang dapat dibuktikan atau dijadikan bukti dalam persoalan hukum. Sedangkan pendokumentasian adalah pekerjaan mencatat atau merekam peristiwa dan objek maupun aktifitas pemberian jasa (pelayanan) yang dianggap berharga dan penting (Tungalan, 2003).

Dokumentasi Merupakan kumpulan dari catatan hasil kerja (Yayasan Total Sarana Edukasi, copyright, 2007).

Pada penelitian ini, salah satu sumber data yang peneliti dapatkan yaitu hasil pendokumentasian pasien yang dilakukan di Puskesmas Labu Api serta foto-foto tentang BALITA yang menderita penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Pneumonia).

b. Kuesioner

Kuesioner adalah suatu cara pengumpulan data atau suatu penelitian mengenai suatu masalah yang umumnya banyak menyangkut kepentingan umum (banyak orang). Kuesioner ini dilakukan dengan mengedarkan suatu daftar pertanyaan yang berupa formulir-formulir, diajukan secara tertulis kepada sejumlah subjek untuk mendapatkan tanggapan, informasi, jawaban dan sebagainya (Notoatmodjo,2005).

c. Observasi

Observasi merupakan cara pengumpulan data dengan mengadakan melakukan pengamatan secara langsung pada responden penelitian untuk mencari perubahan atau hal-hal yang akan di teliti. Dalam metode observasi ini instrumen yang dapat digunakan, adalah lembar observasi, panduan pengamatan atau observasi dan lembar ceklist (Hidayat, A. 2007).

2. Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data merupakan suatu proses pendekatan kepada subjek atau responden dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam,2003).

Dimana dalam penelitian ini langkah-langkah pengumpulan data adalah sebagai berikut:

a. Setelah mendapatkan izin dari Bappeda Kabupaten Lombok Barat dan Kepala Puskesmas, peneliti akan mengadakan pendekatan dengan petugas kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Labu Api dan menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian agar proses pengambilan data dapat dengan mudah dilaksanakan.

b. Peneliti mencatat data tentang jumlah pasien.

c. Kemudian peneliti melakukan pendekatan dengan responden. Peneliti menjamin kerahasiaan responden dan hak responden untuk menolak menjadi responden. Bila responden menyetujui maka peneliti meminta responden untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi responden.

d. Responden diberi kuesioner untuk diisi sendiri. Peneliti menjelaskan cara pengisian kuesioner dan menginformasikan agar kuesioner diisi.

e. Bila kuesioner telah diisi, peneliti mengumpulkan dan memeriksa kembali kelengkapannya, jika masih ada yang belum terisi maka responden dimohon untuk melengkapi.

f. Setelah kuesioner telah lengkap, maka peneliti menarik atau mengumpulkan lagi.

E. Identifikasi Variabel dan Definisi Opersional

1. Variabel

Variabel adalah karaktristik subjek penelitian yang berubah dari satu subjek ke subjek lainnya (Sudigdo, S.dkk, 2000).

a. Independent Varible (variabel bebas)

Independent Varible ini merupakan variabel yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya dependent variable (Hidayat, A. 2007). Dalam penelitian ini yang menjadi Independent Varible adalah pola asuh orang tua.

b. Dependent Variable (variabel terikat)

Dependent variable merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena variabel bebas (Hidayat aziz alimul, 2007). Dalam penelitian ini yang menjadi dependent variable adalah tingkat kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Pneumonia).

2. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah mendefiniskan variabel operasional berdasarkan karakteristik yang diamati sehingga memungkinkan peneliti melakukan atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena. Definisi operasional ditentukan berdasarkan parameter yang dijadikan ukuran dalam penelitian. Sedangkan cara pengukuran merupakan cara dimana variabel dapat diukur dan ditentukan karakteristiknya.

Adapun definisi operasionalnya :

a. Pola asuh adalah suatu perilaku orang tua dalam mengasuh anaknya meliputi perawatan, pengetahuan, sikap, tindakan terhadap peningkatan kesehatan serta pertumbuhan dan perkembangan anak BALITA

b. BALITA adalah anak yang berumur satu sampai lima tahun baik laki-laki maupun perempuan yang ada dilokasi penelitian yang pernah, sedang maupun tidak pernah menderita penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Pneumonia).

c. Orang tua adalah laki-laki atau perempuan yang memiliki anak untuk diasuh.

d. Infeksi Saluran Pernafasan Akut merupakan suatu infeksi yang terjadi pada saluran pernafasan baik saluran prnafasan atas maupun bawah yang terjadi sampai 14 hari.

Tabel 3.1. Identifikasi Varibel dan definisi operasional

Variabel

Definisi operasional

Parameter

Alat ukur

Skala pengukuran

Skor

1

2

3

4

5

6

Independen pola asuh orang tua

Pola asuh adalah suatu perilaku orang tua dalam mengasuh anaknya meliputi perawatan, pengetahuan, sikap, tindakan terhadap peningkatan kesehatan serta pertumbuhan dan perkembangan anak BALITA

1. Perilaku

a. Pengetahuan

b. Sikap

c. Tindakan

Kuisioner

nominal

1= nilai

jika jawaban benar.

0=nilai

jika jawaban salah.

Baik = > 75%

Tidak baik = <>

Dependen

Tingkat kejadian ISPA

Tingkat infeksi saluran pernafasan akut merupakan seberapa banyak kejadian infeksi saluran pernafasan akut yang terjadi pada BALITA dalam waktu sampai 14 hari.

1. Usia 2-12 bulan:

a. Batuk

b. Nafas cepat (>50kali permenit)

c. Panas

d. Tidak ada tarikan dinding dada.

2. Usia 1-4 tahun:

a. Batuk

b. Nafas cepat (>40kali permenit)

c. Panas

d. Tidak ada tarikan dinding dada

3. .

1. Observasi

2. Dokumentasi

Nominal

1 = nilai

Jika ya

0=nilai

Jika tidak

Terjadi = > 75%

Tidak terjadi = <>

F. Analisa Data

Pemberian skor data yang terkumpul dari masing-masing variabel terdiri dari : independent variable tentang pola asuh orang tua digunakan untuk Kuisioner dan akan diberi skor (Arikunto, 2006):

Nilai 1 = bila pertanyaan dijawab dengan benar dengan kriteria baik

Nilai 0 = bila pertanyaan dijawab salah dengan kriteria tidak baik.

Variabel dependennya tentang tingkat kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Pneumonia):

Nilai 1 = Jika jawaban ”ya”

Nilai 0 = Jika jawaban ”tidak”

Guna memudahkan dalam menganalisis parameter, maka peneliti membuat kriteria peneglompokan sebagai berikut:

Untuk mengukur pola asuh orang tua dengan kriteria :

a. Baik = bila nilai yang dicapai > 75%

b. Tidak baik = bila nilai yang dicapai <>

Untuk mengukur tingkat kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Pneumonia) dengan kriteria:

a. Terjadi = bila nilai yang dicapai > 75%

b. Tidak terjadi = bila nilai yang dicapai <>

Untuk mengetahui adanya hubungan antara pola asuh orang tua dengan tingkat kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Pneumonia) di RT. 1 Dusun Telaga Waru Kecamatan Labu Api maka peneliti menggunakan analisis chi-square dengan menggunakan tingkat kemaknaan statistik 5%. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut:

Keterangan:

X2 = nilai chi-square

Oi = banyak kasus yang diamati dalam kategori ke-i

Ei = banyak yang diharapkan dalam katageori ke-i

= jumlah semua kategori (k)

Jika ada sel atau nilai nol maka digunakan yeat correction sebagai berikut:

Rumus :

Chi-square dengan diberi X2, merupakan teknik statistik yang digunakan untuk menganalisis data nominal atau kategori atau diskrit. Data ini diperoleh dari hasil menghitung, bukan hasil pengukuran seperti halnya data kontinum (Sugiono, 2005).

G. Kerangka Kerja atau Frame Work

Frame work adalah sesuatu yang abstrak, logikal secara arti harfiah dan akan membantu penelitian dalam menghubungkan hasil penelitian dengan body of knowledge (Nursalam dan Fariani, 2000). Penelitian kerangka kerja dalam penelitian Keperawatan dapat disajikan dalam bentuk alur penelitian, terutama variabel yang akan digunakan dalam penelitian (Hidayat, A. 2003).




Gambar 3.1. Kerangka kerja hubungan pola asuh orang tua dengan tingkat kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Pneumonia) pada BALITA.


H. JADWAL PENELITIAN

JADWAL PENELITIAN

No

Kegiatan

Tahun 2008 bulan ke-

5

6

7

8

1

Bimbingan proposal pembimbing materi

ü

ü



2

Bimbingan proposal pembimbing metodologi

ü

ü



3

Seminar proposal



ü


4

Revisi proposal



ü


5

Pengurusan izin penelitian



ü


6

Pelaksanaan penelitian



ü

ü

7

Analisa data dan penyusunan hasil penelitian




ü

8

Bimbingan hasil penelitian pembimbing materi




ü

9

Bimbingan hasil penelitian pembimbing metodologi materi




ü

10

Seminar hasil dan ujian hasil




ü

11

Revisi hasil penelitian




ü

Tabel 3.2. Jadwal penelitian ”Hubungan pola asuh orang tua dengan tingkat kejadian Infeksi saluran pernafasan akut (pneumonia) pada Balita